Situasi dunia politik Indonesia makin tak karuan. Negeri yang
mayoritas berpenduduk Muslim ini pun sudah tak malu-malu lagi untuk
mengeluarkan sumpah serapah atau caci maki kepada lawan politiknya. Ketidaksukaan
seseorang kepada suatu golongan atau pun sebaliknya menjadi alat pelegitimasi
untuk saling menghujat, bahkan dengan nama hewan sekalipun. Bukankah Allah
telah melarangnya, “Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”
(Q.s. al-Hujuraat [49]: 11). Apa memang para penghujat ini sudah tidak
mau mengindahkan larangan Allah, atau malah mereka sudah tak takut lagi kepada-Nya
sampai larangan-Nya pun masih dilanggar.
Tak cukupkah dengan bencana yang melanda negeri ini. Tak sadarkah
mereka ada para janda yang membanting tulang demi kelangsungan hidup
generasinya. Tak tahukah mereka, anak-anak kecil merengek minta sekolah tapi
malah jadi pengemis karena orangtua mereka tak mampu membayar SPP. Sakit matakah
mereka sampai nyawa rakyat meregang sia-sia tak ada yang menengoknya. Tak degarkah
mereka akan jerit hati para jelata yang berbulan-bulan menjahit mulut mereka di
depan gedung DEWAN YANG TERHORMAT demi sebuah keadilan. Sungguh, masih banyak
hal yang lebih penting ketimbang saling caci yang hanya menambah murka ilahi. Dan
sungguh, masih banyak hal yang jauh lebih penting daripada memperturutkan nafsu
politik.
Rasanya ada yang salah
dengan proses pendewasaan di negeri ini, sampai-sampai melahirkan para
politikus yang tak punya malu. Mereka tak malu untuk ramai-ramai minta kenaikan
gaji, sementara pengangguran makin membumbung tinggi. Mereka juga tak malu-malu
untuk berpesta pora di tengah kemiskinan rakyat yang semakin menjerat. Mereka tak
malu untuk tidak datang ke rapat-rapat yang telah diagendakan, sementara yang
lain bangun di pekatnya pagi untuk mengais rezeki di onggokan sampah yang tadi
malam baru di buang. Mereka juga tak malu minta uang bermilyar-milyar demi
merenovasi WC yang “katanya” sudah tidak nyaman lagi sementara rakyat miskin
bingung bagaimana agar esok pagi mampu buang hajat karena sampai malam ini
belum ada apa pun yang lewat di kerongkongannya. Sungguh, mereka tak malu untuk
tidur di dalam sidang walau rakyat tak bisa tidur karena hujan deras mengguyur
pinggiran toko yang mereka jadikan permadani. Dan bahkan, mereka tak malu untuk mencaplok
uang rakyat, sementara rakyat kelimpungan bagaimana membayar berbagai pajak karena
lapangan kerja semakin menguap.
Kalau kita mau jujur dan mau berbenah, maka dari lini terkecil (keluarga)
sampai lini terbesar (bernegara) harus kita rombak cara pengelolaanya. Terlebih
sekolah sebagai lembaga formal yang pemerintah pun turun tangan di dalamnya, maka sudah
sepatutnya untuk memeberdayakan semaksimal mungkin. Bagaimana mengajari siswa
didik agar punya malu, malu untuk korupsi, malu untuk mencontek, malu berkelakuan
buruk, malu mendapat nilai jelek, dan masih banyak hal yang bisa kita ajarkan dan kita maksimalkan.
Tak tergiurkah ketika kita melihat negar-negara tetangga yang mulai
berlari mengejar negara-negara maju, sementara kita merangkak pun masih
kesulitan. Tak inginkah negeri yang katanya “kolam susu” ini benar-benar
menjelma menjadi impian setiap orang, di mana kedamaian, ketenteraman,
keharmonisan, kesejahteraan, dan masih banyak hal yang tak akan dapat kita
tuliskan di sini benar-benar ada di negeri ini. Tak maukah kita? Tak inginkah kita? Atau para
penghuni negeri ini memang lebih suka tawuran, lebih suka saling mengejek, lebih suka adu kekuatan,
atau apalah namanya? Jawablah…! Jawablah dengan nurani Anda. Jika memang kita
menginginkan kebahagiaan, maka mari kita usahakan perbaikan di semua lini
kehidupan. Dan, nasihatilah orang-orang
yang urat malunya semakin tersamar oleh bergelimangnya rupiah yang menggoda. Semoga
Allah menunjukkan kita ke jalan yang lurus, jalan yang Ia ridhai. Amin. []
Gambar: kabarnet.files.wordpress.com
Gambar: kabarnet.files.wordpress.com
0 Komentar:
Posting Komentar