Selasa, 17 Januari 2012

Berdaya di Toko Buku


Sebagai kota pelajar, Yogyakarta memiliki akses pendidikan yang sangat mudah—walau tidak murah. Sarana pendukungnya juga melimpah ruah. Bahkan, bisa dibilang lembaga pendidikan di kota Yogyakarta tumbuhnya begitu menjamur. Tak ketinggalan, para penerbit buku pun berlomba-lomba menyemarakkan label Yogyakarta sebagai kota pelajar dengan pelbagai buku yang begitu menggugah selera para pembaca. Dengan adanya fenomena ini muncullah toko-toko buku sebagai mitra kerja para penerbit. Nama-nama toko buku yang cukup terkenal di Yogyakarta di antaranya, Toga MasGramediaShoopingSocial Agency, dan masih banyak lagi lainnya. 

Dengan banyaknya toko buku yang ada, pihak marketing pun dipaksa untuk berlomba-lomba menawarkan bukunya kepada masyarakat dengan semenarik mungkin. Berbagai inovasi disuguhkan oleh para marketing, tapi yang paling umum adalah dengan memberikan diskon pada buku yang akan dijual. Para pembaca pun menjadi seperti dimanjakan sehingga pergi ke toko buku bisa menjadi ajang perburuan ilmu pengetahuan yang bersubsidi. Murah dan meriah, bukan? Terlebih bagi para orangtua yang memiliki anak usia sekolah, maka pergi ke toko buku untuk mencari buku-buku yang berdiskon―karena buku yang di tawarkan di sekolah biasanya mahal―adalah hal yang sangat menyenangkan.

Walau belum terlalu signifikan tingkat pengunjung yang datang ke toko buku―jika dibandingkan dengan penduduk di Yogyakarta yang mencapai 3.452.390 berdasarkan sensus penduduk 2010―tetapi jumlahnya sudah cukup menggembirakan karena terbukti tidak hanya mal-mal saja yang ramai dipadati pengunjung. Berbagai kalangan yang datang ke toko buku. Tidak hanya para pelajar yang memadatinya, para ibu rumah tangga, karyawan, bahkan anak-anak pun ada di sana. Dari beragamnya latar belakang sosial, buku yang diminati pun berbeda-beda. Kalau ibu-ibu suka dengan buku-buku yang berhubungan dengan dunia masak-memasak, maka lain halnya dengan para mahasiswa yang lebih menyukai buku-buku yang berbau pemikiran atau pergerakkan. Anak-anak pun tak mau kalah, mereka begitu menggandrungi buku-buku bergambar yang menawarkan cerita paling menarik. Dan begitulah seterusnya.

Sebenarnya sah-sah saja pergi ke toko buku untuk mendapatkan buku favorit karena diskon yang ditawarkan. Selain bisa menghemat uang, juga bisa memperkaya wawasan dengan harga yang terjangkau. Akan tetapi, ada hal yang belum begitu diperhatikan oleh para pembeli di toko buku. Hal penting itu adalah memaksimalkan keberadaan toko buku. Jika paradigma saat ini adalah “pergi ke toko buku karena ada diskon”, maka mulai saat ini kita ubah menjadi “pergi ke toko buku untuk memberdayakannya”. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara memberdayakan diri di toko buku?

Menurut saya, agar bisa memberdayakan keberadaan toko buku adalah menulis ulang apa yang kita baca dari buku-buku yang kita beli di toko buku. Selain itu, melakukan penelitian terhadap buku-buku yang ada juga bisa menjadi pilihan yang lebih baik agar kentara manfaatnya. Misalnya dengan meneliti fenomena buku-buku terlaris yang terjual di toko buku seperti “mengapa buku-buku kiat menjadi pebisnis sukses yang instan sangat diminati masyarakat”.  Dengan adanya langkah-langkah seperti ini, maka toko buku bukan hanya sebagai ajang membeli buku, tetapi juga sebagai tempat mentransformasi ide-ide yang teronggok di pikiran kita.

Dengan adanya langkah-langkah konkret seperti ini, maka ilmu pengetahuan yang kita peroleh tidak tertelan mentah-mentah, tapi melalui proses pemikiran dan penelaahan terlebih dahulu sehingga manfaatnya pun akan berlipat ganda seperti kata pepatah sambil menyelam minum air. Dengan langkah ini, kita tidak hanya membeli dan membaca buku, tapi menghasilkan pemikiran-pemikiran brilian dari apa yang kita baca. Sehingga perkembangan jumlah penulis dan pembaca seimbang, tidak ada yang timpang. Bahkan, bisa jadi tulisan yang kita peroleh dari penelitian “kecil-kecilan” tersebut akan dimintai oleh pihak penerbit, dan akan diterbitkan sebagai sebuah buku. Siapa tahu? Dan akhirnya, pemikiran-pemikiran kita akan menjadi konsumsi publik dan akan mendapatkan umpan balik jika pembaca buku-buku kita juga menerapkan hal yang kita lakukan.

Kalaupun tidak diterbitkan setidaknya masih bisa kita baca sendiri dan kita tularkan segi positifnya kepada orang lain. Ayo, mulailah dari diri kita kemudian kita tularkan virus kebaikan ini kepada orang lain. Bukankah hal-hal besar juga dimulai dari hal-hal―yang dianggap―kecil seperti ini. Ayo, segera lakukan. Kalau bukan kita, siapa lagi? []


Keterangan: Tulisan ini juga dimuat di situs www.proumedia.co.id 
Gambar: farm3.static.flickr.com

0 Komentar:

Posting Komentar