Sebagai
kota pelajar, Yogyakarta memiliki akses pendidikan yang sangat mudah—walau
tidak murah. Sarana pendukungnya juga melimpah ruah. Bahkan, bisa dibilang
lembaga pendidikan di kota Yogyakarta tumbuhnya begitu menjamur. Tak
ketinggalan, para penerbit buku pun berlomba-lomba menyemarakkan label
Yogyakarta sebagai kota pelajar dengan pelbagai buku yang begitu menggugah
selera para pembaca. Dengan adanya fenomena ini muncullah toko-toko buku
sebagai mitra kerja para penerbit. Nama-nama toko buku yang cukup terkenal di
Yogyakarta di antaranya, Toga Mas, Gramedia, Shooping, Social
Agency, dan masih banyak lagi lainnya.
Dengan
banyaknya toko buku yang ada, pihak marketing pun dipaksa untuk berlomba-lomba
menawarkan bukunya kepada masyarakat dengan semenarik mungkin. Berbagai inovasi
disuguhkan oleh para marketing, tapi yang paling umum adalah dengan memberikan
diskon pada buku yang akan dijual. Para pembaca pun menjadi seperti dimanjakan
sehingga pergi ke toko buku bisa menjadi ajang perburuan ilmu pengetahuan yang
bersubsidi. Murah dan meriah, bukan? Terlebih bagi para orangtua yang memiliki
anak usia sekolah, maka pergi ke toko buku untuk mencari buku-buku yang
berdiskon―karena buku yang di tawarkan di sekolah biasanya mahal―adalah hal
yang sangat menyenangkan.
Walau
belum terlalu signifikan tingkat pengunjung yang datang ke toko buku―jika
dibandingkan dengan penduduk di Yogyakarta yang mencapai 3.452.390 berdasarkan
sensus penduduk 2010―tetapi jumlahnya sudah cukup menggembirakan karena
terbukti tidak hanya mal-mal saja yang ramai dipadati pengunjung. Berbagai
kalangan yang datang ke toko buku. Tidak hanya para pelajar yang memadatinya,
para ibu rumah tangga, karyawan, bahkan anak-anak pun ada di sana. Dari
beragamnya latar belakang sosial, buku yang diminati pun berbeda-beda. Kalau
ibu-ibu suka dengan buku-buku yang berhubungan dengan dunia masak-memasak, maka
lain halnya dengan para mahasiswa yang lebih menyukai buku-buku yang berbau pemikiran
atau pergerakkan. Anak-anak pun tak mau kalah, mereka begitu menggandrungi
buku-buku bergambar yang menawarkan cerita paling menarik. Dan begitulah
seterusnya.
Sebenarnya
sah-sah saja pergi ke toko buku untuk mendapatkan buku favorit karena diskon
yang ditawarkan. Selain bisa menghemat uang, juga bisa memperkaya wawasan
dengan harga yang terjangkau. Akan tetapi, ada hal yang belum begitu
diperhatikan oleh para pembeli di toko buku. Hal penting itu adalah
memaksimalkan keberadaan toko buku. Jika paradigma saat ini adalah “pergi ke
toko buku karena ada diskon”, maka mulai saat ini kita ubah menjadi “pergi ke
toko buku untuk memberdayakannya”. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana cara memberdayakan diri di toko buku?
Menurut
saya, agar bisa memberdayakan keberadaan toko buku adalah menulis ulang apa
yang kita baca dari buku-buku yang kita beli di toko buku. Selain itu,
melakukan penelitian terhadap buku-buku yang ada juga bisa menjadi pilihan yang
lebih baik agar kentara manfaatnya. Misalnya dengan meneliti fenomena buku-buku
terlaris yang terjual di toko buku seperti “mengapa buku-buku kiat menjadi
pebisnis sukses yang instan sangat diminati masyarakat”. Dengan adanya
langkah-langkah seperti ini, maka toko buku bukan hanya sebagai ajang membeli
buku, tetapi juga sebagai tempat mentransformasi ide-ide yang teronggok di
pikiran kita.
Dengan
adanya langkah-langkah konkret seperti ini, maka ilmu pengetahuan yang kita
peroleh tidak tertelan mentah-mentah, tapi melalui proses pemikiran dan penelaahan
terlebih dahulu sehingga manfaatnya pun akan berlipat ganda seperti kata
pepatah sambil menyelam minum air. Dengan langkah ini, kita tidak hanya membeli
dan membaca buku, tapi menghasilkan pemikiran-pemikiran brilian dari apa yang
kita baca. Sehingga perkembangan jumlah penulis dan pembaca seimbang, tidak ada
yang timpang. Bahkan, bisa jadi tulisan yang kita peroleh dari penelitian
“kecil-kecilan” tersebut akan dimintai oleh pihak penerbit, dan akan
diterbitkan sebagai sebuah buku. Siapa tahu? Dan akhirnya, pemikiran-pemikiran
kita akan menjadi konsumsi publik dan akan mendapatkan umpan balik jika pembaca
buku-buku kita juga menerapkan hal yang kita lakukan.
Kalaupun
tidak diterbitkan setidaknya masih bisa kita baca sendiri dan kita tularkan
segi positifnya kepada orang lain. Ayo, mulailah dari diri kita kemudian kita
tularkan virus kebaikan ini kepada orang lain. Bukankah hal-hal besar juga
dimulai dari hal-hal―yang dianggap―kecil seperti ini. Ayo, segera lakukan.
Kalau bukan kita, siapa lagi? []
Keterangan: Tulisan ini juga
dimuat di situs www.proumedia.co.id
Gambar: farm3.static.flickr.com
Gambar: farm3.static.flickr.com
0 Komentar:
Posting Komentar