Sabtu, 04 Agustus 2012

Ketika Susu Berbalas Tuba

Di bulan Ramadhan ini tidak semua umat Muslim bisa menjalankan kewajibannya dengan tenang, layaknya kita yang tinggal di Indonesia. Tengok saja saudara-saudara kita di Rohingya, Myanmar. Alih-alih bisa menjalankan ibadah di bulan penuh berkah ini, untuk sekadar menyambung napas saja mereka harus mencari perlindungan ke sana ke mari, bahkan ada yang sampai mengungsi ke Indonesia. Maka, sudah selayaknya kita membantu mereka sebagai saudara seiman, dengan cara apa pun—minimal kita memanjatkan doa untuk mereka di setiap kita memohon kepada-Nya.


Di berbagai media massa, berita ini sudah cukup santer dikabarkan. Miris rasanya mendengar saudara-saudara seiman kita diperlakukan tak manusiawi. Namun di balik cerita dibantainya Muslim Rohingya oleh Ekstrimis Budha dan Junta Militer Myanmar, masih saja ada segelintir orang yang membuat pernyataan yang sangat mencederai sanubari. Bagaimana tidak, ketika sebagian umat Muslim menyerukan agar umat Islam Indonesia bersatu padu untuk membantu saudara-saudara Muslim di Rohingya dengan apa pun—termasuk jihad—malah ada oknum-oknum yang mengecamnya. Kata mereka jihad itu tidak diperlukan, yang diperlukan adalah bantuan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Memang kapan PBB melindungi umat Islam? Apa tidak cukup bukti pembiaran yang dilakukan oleh PBB terhadap Muslim di Irak, Afganistan, Gaza, dan lain-lain ketika dibantai oleh Amerika, Negeri Zionis, dan para sekutunya.

Saya tidak tahu jalan pikiran orang—salah satunya—yang pernah mendapat beasiswa di Ummul Qura Mekkah malah memberikan pernyataan yang sangat melukai perasaan umat Muslim. Sejak kapan kita dilarang berjihad, sementara saudara-saudara kita dibantai, diperkosa, dibakar, dan segudang tindak pemberangusan etnis yang dilakukan oleh kaum kafir laknatullah? Padahal dia sangat menikmatai masa kuliahnya di Mekkah—negeri tumbuhnya syariat JIHAD; makan-minum, menikmati uang saku, mendapat penginapan, fasilitas, transportasi, dan segalanya yang dibutuhkan. Bahkan, empat orang anaknya lahir di Mekkah, dalam naungan kemurahan kerajaan Arab Saudi, yang belakangan dia kecam karena dianggap Wahabi—setelah lulus dia mengatakan, “Inni tubtu min Wahabi; Saya bertaubat dari Wahabi." (abisyakir.wordpress.com). Sungguh, orang yang tak tahu balas budi. Lantas predikat apalagi yang pantas kita sematkan untuk orang yang sesat dan menyesatkan ini?

Sudah saatnya Muslim di Indonesia sadar, bahwa menolong orang yang membutuhkan apalagi mereka adalah saudara sesama Muslim adalah wajib—apa pun caranya yang penting sesuai dengan yang Allah dan Rasul-Nya syariatkan. Dan, sudah seharusnya kita mewaspadai pikiran-pikiran sesat yang keluar dari para "melek" ilmu yang telah tersesatkan oleh godaan dunia dan nafsu setannya. Kita doakan semoga mereka segera sadar dan bertobat, sebelum ajal menghampiri mereka. Mari kita doakan semoga Allah memberikan jalan terbaik untuk saudara kita di Rohingya. Amin. []



Gambar: www.voa-islam.com

0 Komentar:

Posting Komentar