Akhir tahun 2011 tinggal menunggu beberapa hari lagi. Penutupan di akhir tahun yang diharapkan menenteramkan hati semua pihak terhenyak sejenak akibat peristiwa-peristiwa yang kadang tak diinginkan kedatangannya. Anomali-anomali alam pun kiat mencuat. Sebut saja aktifnya kembali Gunung Sindoro, yang terletak di Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, setelah tidur kurang lebih 101 tahun silam (menurut catatan Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi, Gunung Sindoro terakhir kali meletus pada tahun 1910). Tidak hanya itu, kemarin, tepatnya hari minggu tanggal 18 Desember 2011 telah terjadi banjir bandang di Dusun Sidorejo, Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Tidak kurang dari 27 rumah penduduk hancur, 1 tewas, dan 2 lainnya kritis serta ratusan penduduk terpaksa mengungsi di balai desa setempat. Hal ini terjadi ketika hujan deras mengguyur wilayah Kabupaten Wonosobo.
Menurut laporan, banjir bandang bermula dari air kiriman Gunung Pakuwojo yang melewati sungai Ngesong, Sidoharjo, di mana sungai tersebut membelah daerah permukiman warga. Satu buah mobil Xenia bernomor polisi AB 1708 NF masih tertimbun longsoran dan satu unit mobil pick up hanyut diterjang banjir dan belum diketemukan. Banjir bandang tersebut menyapu rumah-rumah penduduk yang rumahnya berada dekat dengan sungai. Selain itu, dengan adanya banjir tersebut akses jalan utama menuju Kecamatan Batur, Banjarnegara tertutup (www.poskota.co.id).
Memang untuk saat ini banjir tidak hanya populer di kalangan warga kota seperti Jakarta, tapi akrab juga dengan warga yang hidup di pegunungan. Di mana pun kehidupan manusia selama tidak menjaga lingkungan, maka jangan kaget jika bencana melanda. Warga kota yang—katanya—suka membuang sampah sembarangan harus menanggung akibatnya ketika musim penghujan dating, yaitu banjir musiman seperti yang terjadi di kota-kota besar. Begitu juga yang terjadi di daerah desa/pegunungan akan mendapatkan hal yang serupa jika penebangan hutan secara liar tidak dihentikan.
Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh harian Suara Merdeka tercatat bahwa penjarahan dan penggundulan hutan di Dataran Tinggi Dieng yang berlangsung sejak era reformasi menghabiskan seluruh hutan lindung yang ada di sana. Pembabatan hutan dilakukan penduduk untuk lahan tanaman kentang. Bahkan 1.000 ha hutan pada kawasan situs candi Hindu di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur ikut dibabat. Demikian pula hutan cagar alam, Telaga Warna, dan Telaga Pengilon yang kini sudah berubah menjadi area tanaman kentang. Akibatnya, tanah di Dataran Tinggi Dieng tergerus erosi karena tak ada tanaman keras yang menahan. Tanah hasil erosi terbawa arus Sungai Serayu dan Merawu masuk Waduk Mrica. Tingkat erosi mencapai 4 juta sampai 5 juta m3/tahun.
Jadi, sejalan dengan akan segera berakhirnya tahun 2011 ini, mari kita akhiri perilaku kurang bersahabat kita dengan alam. Dengan seizin Allah, alam akan menjaga kelangsungan hidup manusia selama manusia juga mau menjaga kelestarian alam sekitar. []
Gambar: 4.bp.blogspot.com
Gambar: 4.bp.blogspot.com
Siip...
BalasHapus