Jumat, 23 Desember 2011

Bahasa Daerah Makin Terdesak

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar dan budaya. Kurang lebih tujuh tahun silam saya menginjakkan kaki di kota ini, tidak lain dan tidak bukan kecuali untuk menimba ilmu. Saya menyelesaikan jenjang SMA dan perguruan tinggi di kota ini. Praktis interaksi dengan para penduduknya pun tidak bisa dibilang singkat. Selama tinggal di Yogyakarta, saya sudah beberapa kali pindah tempat tinggal (indekos). Penduduknya memang ramah-ramah, bahkan bahasa Jawa yang biasa saya gunakan pun kalah halus dengan penduduk setempat. Berkat merantau ke Yogyakarta saya lebih mengenal bahasa Jawa yang baik dan benar. Terlebih ketika di bangku perkuliahan saya juga mengambil mata kuliah pilihan tentang bahasa Jawa dari Jurusan Sastra Nusantara di Fakultas Ilmu Budaya, UGM.

Tapi akhir-akhir ini, saya mulai berpikir sepertinya proses regenerasi dan pewarisan penggunaan bahasa Jawa yang baik dan benar tidak berjalan dengan lancar di Yogyakarta. Terbukti dengan tidak bisanya anak-anak kecil di Yogyakarta menggunakan bahasa Jawa (Jawa ngoko sekalipun). Fenomena ini banyak terjadi pada anak-anak yang orangtuanya berstatus ekonomi menengah ke atas. Mirisnya lagi, ketika saya tanya menggunakan bahasa Jawa mereka tidak bisa menjawab. Saya pikir mereka hanya pura-pura atau malu mengucapkan bahasa Jawa, tapi setelah saya gali lebih dalam dari warga sekitar memang dari pihak orangtua tidak mengajarkan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari.
Padahal menurut dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mataram (Unram), Nurachman Hanafi, Indonesia memiliki sedikitnya 750 bahasa daerah sebagai bahasa leluhur yang merupakan warisan tak ternilai harganya. Andai saja fenomena di atas (enggan menggunakan bahasa daerah) juga menjangkiti wilayah-wilayah lain, maka tak bisa dielakkan lagi kepunahan bahasa daerah akan terjadi di bumi Indonesia. Mengucapkan saja tidak bisa lalu bagaimana mungkin bisa menuliskan huruf-hurufnya (karena bagi saya yang paling sulit adalah belajar menuliskan huruf-huruf dalam bahasa Jawa). Apakah ini pertanda tulisan Jawa akan segera punah dari jagat raya ini? Hanya Allah yang Mahatahu.
Selain karena keengganan orangtua mewariskan bahasa Jawa, maraknya penggunaan bahasa asing-- terutama bahasa Inggris--juga menjadi penyebab semakin sedikitnya pribumi yang memilih bahasa Jawa sebagai pengantar percakapan sehari-hari. Oleh karena itu, wajar jika sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Inggris atau sekolah yang menggunakan bahasa Inggris lebih diminati para orangtua yang tinggal di kota-kota besar ketimbang menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah biasa. Sehingga, anak terkesan lebih menyukai bahasa lain daripada bahasa daerah. Salah satu contohnya, iklan salah satu produk susu yang tengah marak ditayangkan di televisi. Dalam iklan tersebut terlihat seorang anak kecil mengucapkan terima kasih kepada ibunya dengan mangatakan "Mom you are my everything". Yang menjadi pertanyaan apakah awak media tidak berpikir jauh ke depan bagaimana efek yang akan ditimbulkan kepada anak-anak kecil yang melihat iklan tersebut. Mengapa mereka lebih memilih kalimat tersebut dibanding dengan kalimat "Bu, kau adalah segalanya bagiku". Sungguh disayangkan.
Melihat fenomena ini, bisa jadi dalam beberapa tahun / puluh tahun ke depan kita tidak akan mendengar lagi bahasa Jawa bergema di Yogyakarta. Andai saja kita bisa belajar dari negara-negara asia lainnya, seperti Jepang, Korea, dan Cina yang amat bangga menggunakan bahasa mereka sendiri pada setiap produk yang mereka ciptakan. Apakah mereka menjadi bangsa tertinggal akibat tidak menggunakan bahasa Inggris? Tentu, tidak. Jadi, mengapa kita tidak belajar dari mereka? Dengan bahasa kita sendiri kita bisa menciptakan kemajuan-kemajuan. Insya Allah.
Solusinya tentu tidak hanya dari pihak pemerintah, masyarakat juga harus mendukung dengan mengajarkan bahasa daerah kepada generasi penerusnya. Tak ada kata terlambat, kalau kita belum mencobanya. Mulai sekarang, mari kita ajarkan bahasa daerah kita masing-masing kepada anak-anak kita dengan tidak melupakan bahasa-bahasa yang lain, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Intinya, lebih proporsional agar anak kita tidak melupakan warisan budaya dan tidak bingung ketika harus berhadapan dengan bahasa lain selain bahasa daerah. []
 
 
Sumber: elang114.files.wordpress.com

2 komentar: