Mengingat masa lalu kadang membuat kita tersenyum, tertawa, atau malah menangis sendiri (mungkin bagi orang lain terlihat aneh). Karena pengalaman di masa lalu akan selalu menyisakan kenangan yang tak terlupakan, baik kenangan yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Teringat bagaimana lucunya saya ketika menjawab pertanyaan mengenai cita-cita di masa mendatang. “Kalau sudah besar, adik mau jadi apa?” Spontan saya jawab, “Mau jadi guru.” Karena masih kecil, cita-cita yang saya ucapkan pun selalu berubah-ubah. Mau jadi, guru, dokter, polisi, tentara, dan masih banyak lagi yang lain. Intinya, setiap profesi yang terkesan menarik, maka akan saya jadikan cita-cita. Lalu bagaimana dengan Anda? Seperti pengalaman saya-kah?
Terlebih dengan yang namanya “polisi” atau “tentara”, saya begitu menggandrungi kedua profesi ini sejak kecil. Karena semasa kecil saya melihat orang-orang yang menjadi polisi adalah orang yang gagah perkasa lagi pemberani. Kedua profesi inilah yang sangat berjasa dalam menjaga keamanan negara, baik dari gangguan yang ada di dalam maupun dari luar. Bagi saya—ketika masih kecil—profesi ini sangat mulia. Itu sebabnya kedua cita-cita itu sangat saya idolakan ketika kecil.
Tanpa disadari lama-lama ketertarikan saya dengan profesi ini mulai pudar, terutama ketika menginjak bangku SMA. Banyak hal yang membuat saya mulai ragu, tapi yang paling membuat miris adalah bagaimana penanganan polisi saat mengadakan razia kendaraan bermotor, terutama motor roda dua (mungkin Amda juga pernah mengalaminya). Lihat saja bagaimana proses tawar-menawar uang tilang. Apakah memang peraturan lalu lintas boleh ditawar? Saya rasa tidak. Di sisi lain, saya juga memaklumi para penawar (yang ditilang) karena mereka tidak sepenuhnya yakin uang tilang yang mereka berikan benar-benar akan masuk ke tangan yang berwenang. Ironisnya, anak-anak yang orangtuanya anggota polisi akan mendapat perlakuan yang berbeda. Si anak tersebut tinggal menelepon orangtuanya, maka bebaslah dia dari jerat tilang. Atau kalaupun dibawa motornya oleh petugas, sang orangtua akan mengambilnya sendiri di kantor polisi tanpa ada sepeser pun uang tilang.
Sungguh tak adil. Bahkan, saya sering menjumpai anak-anak anggota polisi yang kendaraannya tidak bersurat lengkap. Saya kadang mengandaikan betapa nyamannya ketika terjadi penilangan pihak kepolisian menggaet karyawan bank ke TKP sebagai pencatat uang tilang sehingga orang yang kena tilang akan mendapat bukti yang sah dari bank atas tilang tersebut. Dan kemungkinan besar tidak akan terjadi lagi proses tawar-menawar seperti kejadian di atas. Insya Allah. Tidak hanya itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa proses perekrutannya sarat dengan manipulasi. Bahkan masyarakat sudah sangat paham berapa rupiah yang harus dibayar jika anaknya ingin menjadi tentara, polisi, atau jabatan PNS lainnya. Sungguh ironi, bukan?
Sungguh tak adil. Bahkan, saya sering menjumpai anak-anak anggota polisi yang kendaraannya tidak bersurat lengkap. Saya kadang mengandaikan betapa nyamannya ketika terjadi penilangan pihak kepolisian menggaet karyawan bank ke TKP sebagai pencatat uang tilang sehingga orang yang kena tilang akan mendapat bukti yang sah dari bank atas tilang tersebut. Dan kemungkinan besar tidak akan terjadi lagi proses tawar-menawar seperti kejadian di atas. Insya Allah. Tidak hanya itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa proses perekrutannya sarat dengan manipulasi. Bahkan masyarakat sudah sangat paham berapa rupiah yang harus dibayar jika anaknya ingin menjadi tentara, polisi, atau jabatan PNS lainnya. Sungguh ironi, bukan?
Terlebih akhir-akhir ini, kasus berdarah di Mesuji dan Bima yang sampai merenggut nyawa manusia (masyarakat sipil) cukup membuat ketidaksukaan saya dengan tingkah polah para polisi ini semakin menjadi (padahal sebelumnya saya sudah mencoba untuk mulai menyukai profesi ini seperti ketika masih kecil). Bahkan di salah satu surat kabar menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia sungguh menakjubkan sampai-sampai peluru yang dibeli oleh rakyat, dari uang rakyat, dan ditembakkan untuk rakyat. Padahal ketika berkunjung ke salah satu Polres di sebuah kota tertulis dengan jelas “Mengayomi dan Melindungi Masyarakat”. Lantas pertanyaannya, apa kejadian di Mesuji dan Bima termasuk dalam kategori mengayomi dan melindungi masyarakat? Anda tentu sudah mengetahui jawabannya berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.
Saya yakin, tidak semua anggota polisi berlaku demikian. Walaupun hanya oknum, tapi alangkah baiknya pihak kepolisian mulai berbenah diri dan memperbaiki hubungan mereka dengan masyarakat. Karena kalau tidak segera dilakukan tidak bisa disalahkan kalau ada anggapan bahwa polisi adalah musuh masyarakat. Dalam tulisan ini saya tidak berusaha menghujat siapa pun, tapi ini adalah teguran bagi para penegak hukum "berseragam coklat" untuk segera berbenah diri agar slogan “Mengayomi dan Melindungi Masyarakat” benar-benar dapat berjalan dengan maksimal dan polisi juga benar-benar menjadi teman seluruh rakyat Indonesia. Amin. []
Gambar: berdikarionline.com
Gambar: berdikarionline.com
0 Komentar:
Posting Komentar