"Indonesia
adalah negara hukum, jadi jangan main hakim sendiri." Pernahkah
Anda mendengar kalimat tersebut? Saya kerap mendengar jargon
tersebut, terutama kalau berkenaan dengan isu-isu hukum. Sebagai
negara yang berlandaskan hukum, sudah menjadi keharusan jika masyarakatnya hidup
dengan tenteram dan nyaman. Akan tetapi, melihat fakta yang ada, sepertinya korelasi antara
"negara hukum" dengan "kenyamanan masyarakat" sebagai warga negara
belum bisa berbanding lurus.
Sebagai contoh, kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil akan berbeda penanganannya dengan kasus-kasus yang menimpa para pejabat negeri ini. Tidak hanya dalam proses penanganan, vonis yang dijatuhkan pun kadang tidak masuk di akal manusia. Bagaimana bisa seorang anak bernama Aal di Kota Palu, Sulawesi Tengah, diseret ke Pengadilan Negeri Palu karena dituduh mencuri sandal senilai Rp 30 ribu milik Brigadir Satu Ahmad Husni Harahap, anggota polisi. Aal terancam hukuman lima tahun penjara (http://berita.liputan6.com/). Sementara majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya menjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta kepada Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak yang didakwa melakukan korupsi dan suap (http://berita.liputan6.com/). Vonis itu pun bisa jadi berkurang dengan adanya istilah potong masa tahanan, remisi, dan embel-embel nggak jelas lainnya. Apa ini yang namanya keadilan hukum di Republik tercinta ini?
Sebagai contoh, kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil akan berbeda penanganannya dengan kasus-kasus yang menimpa para pejabat negeri ini. Tidak hanya dalam proses penanganan, vonis yang dijatuhkan pun kadang tidak masuk di akal manusia. Bagaimana bisa seorang anak bernama Aal di Kota Palu, Sulawesi Tengah, diseret ke Pengadilan Negeri Palu karena dituduh mencuri sandal senilai Rp 30 ribu milik Brigadir Satu Ahmad Husni Harahap, anggota polisi. Aal terancam hukuman lima tahun penjara (http://berita.liputan6.com/). Sementara majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya menjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta kepada Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak yang didakwa melakukan korupsi dan suap (http://berita.liputan6.com/). Vonis itu pun bisa jadi berkurang dengan adanya istilah potong masa tahanan, remisi, dan embel-embel nggak jelas lainnya. Apa ini yang namanya keadilan hukum di Republik tercinta ini?
Seperti
kita ketahui, bahwa hukum
di Indonesia
merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama, dan
hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun
pidana, berbasis pada hukum
Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu
Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia
Belanda (http://id.wikipedia.org/).
Aneh, negara yang dengan hukumnya telah menjajah negara kita selama
kurang lebih 3,5 abad digunakan sebagai hukum di Indonesia. Coba kita
tengok ke belakang apakah orang-orang yang hidup di zaman penjajahan
Belanda merasakan adilnya menggunakan hukum Belanda tersebut? Anda tentu sudah
tahu jawabannya, bukan? Nah, kalau dulu pun hukum ini telah menyengsarakan
rakyat Indonesia lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa digunakan oleh
bangsa Indonesia pada zaman yang modern seperti sekarang ini. Apakah para profesor dan pakar hukum di
Indonesia tidak bisa merumuskan undang-undang/sistem hukum sendiri
sampai-sampai harus mengadopsi hukum Belanda yang sudah terbukti
dengan valid telah menyengsarakan rakyat Indonesia berabad-abad
lamanya?
Memang
sudah sepatutnya para petinggi di Republik ini segera merumuskan
hukum atau undang-undang yang benar-benar tidak tebang pilih terhadap
rakyatnya, baik kepada orang yang berduit atau yang miskin seklipun.
Sehingga di kemudian hari tidak terdengar lagi
ketimpangan-ketimpangan hukum yang sangat menyayat hati. Selain itu,
tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di
Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi
dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan
penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya
sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya
transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang
dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi
kerja yang baik bagi aparat penegak hukum (http://anggara.org/).
Semoga
ke depan bangsa ini mampu memiliki hukum yang benar-benar membela
yang “benar” bukan benar-benar membela yang “bayar”. Sehingga
tidak terdengar lagi jerit tangis rakyat kecil yang meminta keadilan
pada sang penguasa. Amin. []
Gambar: konsultanhukum.net
Gambar: konsultanhukum.net
0 Komentar:
Posting Komentar