Rabu, 28 Desember 2011

Hukum Ala Indonesia


"Indonesia adalah negara hukum, jadi jangan main hakim sendiri." Pernahkah Anda mendengar kalimat  tersebut? Saya kerap mendengar jargon tersebut, terutama kalau berkenaan dengan isu-isu hukum. Sebagai negara yang berlandaskan hukum, sudah menjadi keharusan jika masyarakatnya hidup dengan tenteram dan nyaman. Akan tetapi, melihat fakta yang ada, sepertinya korelasi antara "negara hukum" dengan "kenyamanan masyarakat" sebagai warga negara belum bisa berbanding lurus. 

Sebagai contoh, kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil akan berbeda penanganannya dengan kasus-kasus yang menimpa para pejabat negeri ini. Tidak hanya dalam proses penanganan, vonis yang dijatuhkan pun kadang tidak masuk di akal manusia. Bagaimana bisa seorang anak bernama Aal di Kota Palu, Sulawesi Tengah, diseret ke Pengadilan Negeri Palu karena dituduh mencuri sandal senilai Rp 30 ribu milik Brigadir Satu Ahmad Husni Harahap, anggota polisi. Aal terancam hukuman lima tahun penjara (http://berita.liputan6.com/). Sementara majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya menjatuhkan vonis 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta kepada Gayus Tambunan, pegawai Dirjen Pajak yang didakwa melakukan korupsi dan suap (http://berita.liputan6.com/). Vonis itu pun bisa jadi berkurang dengan adanya istilah potong masa tahanan, remisi, dan embel-embel nggak jelas lainnya. Apa ini yang namanya keadilan hukum di Republik tercinta ini?





Seperti kita ketahui, bahwa hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama, dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (http://id.wikipedia.org/). Aneh, negara yang dengan hukumnya telah menjajah negara kita selama kurang lebih 3,5 abad digunakan sebagai hukum di Indonesia. Coba kita tengok ke belakang apakah orang-orang yang hidup di zaman penjajahan Belanda merasakan adilnya menggunakan hukum Belanda tersebut? Anda tentu sudah tahu jawabannya, bukan? Nah, kalau dulu pun hukum ini telah menyengsarakan rakyat Indonesia lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa digunakan oleh bangsa Indonesia pada zaman yang modern seperti sekarang ini. Apakah para profesor dan pakar hukum di Indonesia tidak bisa merumuskan undang-undang/sistem hukum sendiri sampai-sampai harus mengadopsi hukum Belanda yang sudah terbukti dengan valid telah menyengsarakan rakyat Indonesia berabad-abad lamanya?

Memang sudah sepatutnya para petinggi di Republik ini segera merumuskan hukum atau undang-undang yang benar-benar tidak tebang pilih terhadap rakyatnya, baik kepada orang yang berduit atau yang miskin seklipun. Sehingga di kemudian hari tidak terdengar lagi ketimpangan-ketimpangan hukum yang sangat menyayat hati. Selain itu, tentunya harus dimulai dari pembenahan sistem pendidikan hukum di Indonesia yang harus juga diikuti dengan penguatan kode etik profesi dan organisasi profesi bagi kelompok advokat, pengaturan dan penguatan kode perilaku bagi hakim, jaksa, dan polisi serta adanya sanksi yang tegas terhadap setiap terjadinya tindakan tercela, adanya transparansi informasi hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang dapat diakses oleh masyarakat, dan adanya kesejahteraan dan kondisi kerja yang baik bagi aparat penegak hukum (http://anggara.org/).

Semoga ke depan bangsa ini mampu memiliki hukum yang benar-benar membela yang “benar” bukan benar-benar membela yang “bayar”. Sehingga tidak terdengar lagi jerit tangis rakyat kecil yang meminta keadilan pada sang penguasa. Amin. []



Gambar: konsultanhukum.net

0 Komentar:

Posting Komentar