Hari ini, tiba-tiba bermunculan ahli tafsir dadakan
terkait kata AULIYA dalam Al-Qur`an. Kata mereka, kata itu tidak boleh
ditafsirkan sebagai PEMIMPIN. Bagi mereka, yang paling tepat mewaikili kata
AULIYA adalah TEMAN atau SAHABAT KARIB. Ya, mereka adalah sekelompok orang yang
begitu membangga-banggakan kebebasan, tetapi di sisi lain justru mengekang
kebebasan orang lain untuk berpendapat—padahal yang berpendapat adalah para
ulama. Begitulah, mereka bebas menafsirkan—padahal bukan ulama, apalagi ahli tafsir—tetapi
tidak bagi yang lain meski paham agama dan tahu ilmu tafsir. Standar ganda,
bukan? Aneh, bukan?
Oke, kita ikuti keinginan mereka,
bahwa tafsir AULIYA adalah TEMAN atau SAHABAT KARIB, bukan PEMIMPIN. Lalu
pertanyaannya: Manakah yang cakupannya lebih luas, TEMAN-SAHABAT KARIB atau
PEMIMPIN? Ya, PEMIMPIN cakupannya jauh lebih luas ketimbang TEMAN atau SAHABAT
KARIB. Logikanya, kalau Allah melarang—sesuai tafsir mereka—seorang Muslim
menjadikan orang kafir sebagai TEMAN KARIBNYA karena madharat yang akan timbul,
maka apalagi dengan menjadikannya (baca: memilihnya) sebagai PEMIMPIN, tentu
lebih terlarang lagi. Sayangnya, pemikiran mereka terbalik, seolah ingin
mengatakan: “Yang dilarang itu mendekati zina, kalau melakukan zina nggak
apa-apa”; “Yang dilarang itu menjadikan orang kafir sebagai TEMAN atau SAHABAT
KARIB, kalau menjadikannya sebagai PEMIMPIN nggak apa-apa”. Sungguh, ini adalah
logika berpikir yang sesat dan menyesatkan!
Jadi, bagi yang masih jernih imannya,
sudah sangat gamblang bahwa umat Islam haram hukumnya memilih dan menjadikan
orang-orang kafir sebagai TEMAN atau SAHABAT KARIB, apalagi menjadikannya
sebagai PEMIMPIN, lebih terlarang lagi! Dan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan subjektivitas (suka atau tidak suka) kita terhadap seseorang. Sebaliknya, kita melakukan ini sebagai bukti keimanan dan kepatuhan kita kepada Allah. Hal ini sama halnya dengan kepatuhan kita dalam hal tidak memakan daging babi, misalnya, meski menurut orang-orang enak rasanya. Ya, tidak lain dan tidak bukan ini adalah masalah keyakinan dan kepatuhan kita kepada Allah 'Azza wa Jalla. Baca juga: http://www.hidayatullah.com/none/read/2016/03/22/91574/fiqh-kepemimpinan.html;
http://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/10/11/102451/mui-ahok-telah-menghina-al-quran-dan-ulama.html; dan http://www.pos-metro.com/2016/09/aa-gym-heran-sebanyak-7-ayat-melarang.html.
Nah, bagi yang beragama Islam, tetapi
masih ngotot membolehkan, bahkan memfatwakan untuk memilih calon pemimpin yang
kafir, maka jawaban Allah ini semoga bisa menyadarkannya. Namun, kalau tidak
mempan juga, biarlah Allah yang memutuskan perkaranya:
"Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIK bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih.
(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi WALI
(pemimpin/teman/penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka
mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan
Allah." (Q.s.
an-Nisaa` [4]: 138-139)
Sumber gambar: katabaru.files.wordpress.com
Sumber gambar: katabaru.files.wordpress.com
0 Komentar:
Posting Komentar