Sudah lama saya tidak menulis di blog. Bukan
karena tak ada hal yang patut dibagikan, tapi faktor sempatlah yang menjadi
kendala. Meski demikian, kehidupan saya tetap tak jauh-jauh dari aktivitas
literasi. Moga dengan munculnya tulisan ini, bisa memacu saya untuk menjadi
seorang narablog yang aktif lagi. Mohon doanya!
Motif saya dalam menulis tak lain adalah untuk
berbagi pada sesama, yang dengannya semoga bernilai amal ibadah di hadapan Sang
Mahakuasa. Tentu yang saya bagikan adalah kebaikan dan kebenaran. Karena jika
tidak, maka tentu jariyah dosalah yang akan saya dapatkan.
Meski demikian, tak melulu apa yang saya
bagikan mendapat respons positif. Ada yang menolak mentah-mentah tanpa perlu
memeriksa gagasan saya. Ada yang seolah berbaik hati untuk diskusi meski
ujungnya tetap “sepakat untuk tidak sepakat”. Yang terparah adalah jika keluar
caci maki dan umpatan yang membuta babi. Tentu saya harus maklum bahwa tak
semua orang sepaham dengan apa yang saya utarakan—meskipun kebenaran. Karena
selalu saja ada rumput yang menyertai tumbuhnya sebuah tanaman.
Sejenak kita tengok masa lalu, sejarah para
manusia terpilih tepatnya. Para nabi dan rasul yang notabene utusan Allah saja
didustakan dan dianggap gila, apalagi saya yang hanya seorang manusia dan masih
bergelimang dosa, tentu amat wajar jika tak disepakati meski kebanaran yang
dibawa. Kita bisa mengingat kembali bagaimana para Nabi Ulul Azmi (Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad) didustakan, dianggap gila, bahkan dicap sebagai
tukang sihir. Apa yang ditolak oleh kaumnya? Kebenaran. Ya, kebenaran. Para
manusia durhaka itu sangat anti dengan kebenaran.
Sayangnya, tak banyak yang mau belajar dari
sejarah. Kebenaran yang hakikatnya baik, ia abaikan dan jauhi bak penyakit yang
membahayakan jiwanya. Padahal, ada hal yang patut dicatat, yakni pandai dan
tidaknya seseorang tak menjamin sebuah kebenaran mampu diserap. Bahkan, tak
sedikit para penentang justru adalah orang-orang yang dianggap pandai dan
mumpuni. Kita bisa berkaca pada seorang Amr bin Hisyam misalnya, yang telah
dihormati kaumnya sejak sebelum baligh, bahkan termasuk kalangan pandai lagi
dimuliakan di tengah-tengah kaumnya, tetapi justru digelari Abu Jahal (bapak
kebodohan).
Lantas, kenapa ia justru diberi julukan Abu Jahal?
Ya, karena dirinya menolak kebenaran. Ini menjadi bukti bahwa pandai dan
tidaknya seseorang tak menjamin sang empunya mampu memahami sebuah kebenaran.
Semoga kita bukan termasuk di dalamnya. Karena cukuplah seseorang dianggap
sombong jika ia menolak kebenaran dan meremehkan sesama manusia.
Tertolaknya kebenaran oleh seseorang adalah
karena hatinya telah buta. Mereka punya telinga, tapi tak digunakan untuk
mendengar kebenaran. Mereka punya mulut, tapi tak digunakan untuk bicara
kebenaran. Mereka punya mata, tapi tak digunakan untuk melihat kebenaran. Allah
menyebutnya sebagai orang yang summun (tuli), bukmun (bisu), ’umyun
(buta). Terjadi hal ini bisa karena fanatik buta, benci, dengki, dan
semacamnya. Mari berlindung kepada Allah dari menjadi orang-orang seperti ini.
Tentu kita perlu bersikap jika kebenaran yang
kita sampaikan justru dianggap keburukan. Hanya saja, kita harus bersikap
dengan bijak. Setiap tanggapan yang muncul, tentu harus ditanggapi sesuai
porsinya. Jika dimungkinkan adanya tukar dan bagi pengetahuan yang baik, maka
tak ada salahnya kita menanggapi. Dan ini pun tak asal menanggapi, ada
tahapan-tahapannya. Pertama, dengan hikmah (kebijaksanaan). Kedua, dengan
nasihat yang baik (mau’izhah hasanah). Ketiga, mendebat dengan cara yang
baik (tidak berkata kotor dan buruk, tidak merendahkan lawan bicara, bertujuan
mencari kebenaran, dsb).
Nah, jika yang menanggapi asal bicara tanpa
dasar dan pijakan yang jelas—apalagi kuat—maka tanggapan terbaik kita adalah
mengabaikannya. Sebagaimana yang dinasihatkan Imam Asy-Syafi’i, “Sebaik sikap untuk menghadapi si jahil yang mengajak beradu
dalil adalah DIAM.” Bahkan beliau menambahkan, “Aku mampu berhujah
dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan 1 orang yang jahil,
karena orang yang jahil tidak pernah paham landasan ilmu.”
Akhirnya, mari memohon pada
Dzat Yang Menggenggam jiwa kita Allah ’Azza wa Jalla agar kita tak
termasuk para insan yang gemar menolak kebenaran. Dan semoga Allah mudahkan
kita untuk menerima kebenaran dari mana pun jua. Amin.
Saya akhiri dengan mengutip
sabda Rasulullah Saw tentang balasan pada orang yang mampu berlaku bijak pada
para pengabai kebenaran. “Aku menjamin sebuah rumah di pinggir surga bagi siapa saja yang
meninggalkan perdebatan berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran (al-haq),
juga sebuah rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan berbohong
walaupun ia sedang bercanda, serta sebuah rumah di puncak surga bagi siapa saja
yang berakhlak mulia.” (H.r. Abu Dawud)
Gambar: suksesitunyata.files.wordpress.com
Gambar: suksesitunyata.files.wordpress.com
0 Komentar:
Posting Komentar