Senin, 07 April 2014

Sikap Pada Pengabai Kebenaran









Sudah lama saya tidak menulis di blog. Bukan karena tak ada hal yang patut dibagikan, tapi faktor sempatlah yang menjadi kendala. Meski demikian, kehidupan saya tetap tak jauh-jauh dari aktivitas literasi. Moga dengan munculnya tulisan ini, bisa memacu saya untuk menjadi seorang narablog yang aktif lagi. Mohon doanya!

Motif saya dalam menulis tak lain adalah untuk berbagi pada sesama, yang dengannya semoga bernilai amal ibadah di hadapan Sang Mahakuasa. Tentu yang saya bagikan adalah kebaikan dan kebenaran. Karena jika tidak, maka tentu jariyah dosalah yang akan saya dapatkan.

Meski demikian, tak melulu apa yang saya bagikan mendapat respons positif. Ada yang menolak mentah-mentah tanpa perlu memeriksa gagasan saya. Ada yang seolah berbaik hati untuk diskusi meski ujungnya tetap “sepakat untuk tidak sepakat”. Yang terparah adalah jika keluar caci maki dan umpatan yang membuta babi. Tentu saya harus maklum bahwa tak semua orang sepaham dengan apa yang saya utarakan—meskipun kebenaran. Karena selalu saja ada rumput yang menyertai tumbuhnya sebuah tanaman.

Sejenak kita tengok masa lalu, sejarah para manusia terpilih tepatnya. Para nabi dan rasul yang notabene utusan Allah saja didustakan dan dianggap gila, apalagi saya yang hanya seorang manusia dan masih bergelimang dosa, tentu amat wajar jika tak disepakati meski kebanaran yang dibawa. Kita bisa mengingat kembali bagaimana para Nabi Ulul Azmi (Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad) didustakan, dianggap gila, bahkan dicap sebagai tukang sihir. Apa yang ditolak oleh kaumnya? Kebenaran. Ya, kebenaran. Para manusia durhaka itu sangat anti dengan kebenaran.
 
Sayangnya, tak banyak yang mau belajar dari sejarah. Kebenaran yang hakikatnya baik, ia abaikan dan jauhi bak penyakit yang membahayakan jiwanya. Padahal, ada hal yang patut dicatat, yakni pandai dan tidaknya seseorang tak menjamin sebuah kebenaran mampu diserap. Bahkan, tak sedikit para penentang justru adalah orang-orang yang dianggap pandai dan mumpuni. Kita bisa berkaca pada seorang Amr bin Hisyam misalnya, yang telah dihormati kaumnya sejak sebelum baligh, bahkan termasuk kalangan pandai lagi dimuliakan di tengah-tengah kaumnya, tetapi justru digelari Abu Jahal (bapak kebodohan).

Lantas, kenapa ia justru diberi julukan Abu Jahal? Ya, karena dirinya menolak kebenaran. Ini menjadi bukti bahwa pandai dan tidaknya seseorang tak menjamin sang empunya mampu memahami sebuah kebenaran. Semoga kita bukan termasuk di dalamnya. Karena cukuplah seseorang dianggap sombong jika ia menolak kebenaran dan meremehkan sesama manusia.

Tertolaknya kebenaran oleh seseorang adalah karena hatinya telah buta. Mereka punya telinga, tapi tak digunakan untuk mendengar kebenaran. Mereka punya mulut, tapi tak digunakan untuk bicara kebenaran. Mereka punya mata, tapi tak digunakan untuk melihat kebenaran. Allah menyebutnya sebagai orang yang summun (tuli), bukmun (bisu), ’umyun (buta). Terjadi hal ini bisa karena fanatik buta, benci, dengki, dan semacamnya. Mari berlindung kepada Allah dari menjadi orang-orang seperti ini.

Tentu kita perlu bersikap jika kebenaran yang kita sampaikan justru dianggap keburukan. Hanya saja, kita harus bersikap dengan bijak. Setiap tanggapan yang muncul, tentu harus ditanggapi sesuai porsinya. Jika dimungkinkan adanya tukar dan bagi pengetahuan yang baik, maka tak ada salahnya kita menanggapi. Dan ini pun tak asal menanggapi, ada tahapan-tahapannya. Pertama, dengan hikmah (kebijaksanaan). Kedua, dengan nasihat yang baik (mau’izhah hasanah). Ketiga, mendebat dengan cara yang baik (tidak berkata kotor dan buruk, tidak merendahkan lawan bicara, bertujuan mencari kebenaran, dsb).

Nah, jika yang menanggapi asal bicara tanpa dasar dan pijakan yang jelas—apalagi kuat—maka tanggapan terbaik kita adalah mengabaikannya. Sebagaimana yang dinasihatkan Imam Asy-Syafi’i, “Sebaik sikap untuk menghadapi si jahil yang mengajak beradu dalil adalah DIAM.” Bahkan beliau menambahkan, “Aku mampu berhujah dengan 10 orang yang berilmu, tetapi aku pasti kalah dengan 1 orang yang jahil, karena orang yang jahil tidak pernah paham landasan ilmu.”

Akhirnya, mari memohon pada Dzat Yang Menggenggam jiwa kita Allah ’Azza wa Jalla agar kita tak termasuk para insan yang gemar menolak kebenaran. Dan semoga Allah mudahkan kita untuk menerima kebenaran dari mana pun jua. Amin.

Saya akhiri dengan mengutip sabda Rasulullah Saw tentang balasan pada orang yang mampu berlaku bijak pada para pengabai kebenaran. “Aku menjamin sebuah rumah di pinggir surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran (al-haq), juga sebuah rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan berbohong walaupun ia sedang bercanda, serta sebuah rumah di puncak surga bagi siapa saja yang berakhlak mulia.” (H.r. Abu Dawud) 



Gambar: suksesitunyata.files.wordpress.com

0 Komentar:

Posting Komentar