Kamis, 02 Agustus 2012

Teladan Sepanjang Hayat

Alhamdulillah, pada tanggal 9 Sya'ban 1433 H yang bertepatan dengan tanggal 29 Juni 2012, putri pertama kami (saya dan istri) lahir dengan selamat. Bahagia yang tak terperi pun menyelimuti perasaan kami.

Pada hari ketujuh, Sunnah pun kami laksanakan; melakukan aqiqah, memberi nama si bayi, dan mencukur seluruh rambut bayi untuk ditimbang dan disedekahkan dengan dikonversikan dengan harga perak. Nama yang kami berikan adalah Alma Hananiyya. Kami berharap semoga putri kami bisa menjadi seorang hamba Allah yang cerdas dan dikasihi oleh Allah.

Sejak kelahiran anak kami, maka praktis kami telah menjadi orangtua. Dan konsekuensi menjadi orangtua adalah mengantarkan anak keturunan kami menjadi anak yang sesuai dengan fitrahnya, yakni beriman kepada Allah Swt dengan menjadikan agama Islam sebagai pegangan hidupnya dan Sunnah Nabi sebagai teladannya. Tak lupa pemenuhan kebutuhan yang bersikap fisik pun harus semaksimal mungkin kami upayakan, salah satunya adalah memberikan ASI eksklusif kepada si bayi selama 2 tahun penuh atau kalau memang tidak bisa paling minim 6 bulan.


Akhir-akhir ini, jam tidur kami pun sedikit terkurangi karena fase tidur bayi memang belum teratur. Terlebih jika bayi pipis, ek ek (BAB), lapar, haus, maka yang pertama terdengar adalah tangisannya yang memelas. Jadi, sengantuk apa pun kami, maka harus bangun untuk memenuhi hajatnya. Saat itu saya berpikir, mungkin inilah diri saya puluhan tahun lalu ketika masih bayi; hanya merengek-rengek untuk memenuhi hajatnya, maka sungguh tak pantas jika hari ini saya dan mungkin Anda melakukan hal yang tidak disukai orangtua. Sungguh, betapa mulia jasa orangtua kita. Tak akan sanggup kita membayar jerih payahnya, maka berbaktilah selagi kesempatan itu masih ada.

Suatu pagi, ketika selesai memandikan anak kami, sayup-sayup terdengar dari rumah tetangga. "Bu, agama ibu apa sih?" Mendengar pertanyaan itu, saya berpikir mungkin si anak mempunyai PR untuk menanyakan agama orangtuanya. Ibu si anak tersebut menyahut ketus, "Islam." Tak berapa lama terdengar sahutan yang terdengar cukup menyayat hati dari si anak, "Kalo Islam, kok nggak pernah shalat." Pernyataan polos yang saya rasa amat menyudutkan sang ibu itu terdengar amat tak mengenakan hati bagi siapa pun yang mendengarnya. Bagaimana tidak, seorang ibu/orangtua yang seharusnya menjadi contoh terbaik bagi anak-anaknya—terlebih dalam masalah agama—malah tersudutkan oleh pernyataan anaknya sendiri. Saya tak tahu harus bersikap seperti apa andai sayalah yang mendapat tohokan itu. Ternyata benar bahwa anak sangat memerhatikan apa yang kita lakukan sehari-hari, sekecil apa pun.

Berangkat dari cerita di atas, sudah selayaknya kita benahi diri kita terlebih bagi yang sudah memiliki anak. Jangan sampai kejadian di atas juga menimpa kita. Sungguh, adalah musibah jika kita menemui situasi di atas. Oleh karena itu, jangan sampai kita menyuruh anak shalat, tapi kita tak pernah meneladankannya. Kita menyuruh anak berkata jujur, tapi aktivitas bohong-membohongi selalu akrab di kehidupan kita. Kita menyuruh anak menjadi anak yang shalih/shalihah, tapi kita acuh tak acuh dengan orangtua kita. Tak ada kata terlambat, selama kita mempunyai niat dan tekad yang kuat. Fa idzaa 'azamta fatawakkal 'alallaah. []



Gambar: gurugurukehidupan.files.wordpress.com

0 Komentar:

Posting Komentar