Alhamdulillah,
pada tanggal 9 Sya'ban 1433 H yang bertepatan dengan tanggal 29 Juni
2012, putri pertama kami (saya dan istri) lahir dengan selamat.
Bahagia yang tak terperi pun menyelimuti perasaan kami.
Pada hari ketujuh, Sunnah pun kami laksanakan; melakukan aqiqah, memberi nama si bayi, dan mencukur seluruh rambut bayi untuk ditimbang dan disedekahkan dengan dikonversikan dengan harga perak. Nama yang kami berikan adalah Alma Hananiyya. Kami berharap semoga putri kami bisa menjadi seorang hamba Allah yang cerdas dan dikasihi oleh Allah.
Pada hari ketujuh, Sunnah pun kami laksanakan; melakukan aqiqah, memberi nama si bayi, dan mencukur seluruh rambut bayi untuk ditimbang dan disedekahkan dengan dikonversikan dengan harga perak. Nama yang kami berikan adalah Alma Hananiyya. Kami berharap semoga putri kami bisa menjadi seorang hamba Allah yang cerdas dan dikasihi oleh Allah.
Sejak
kelahiran anak kami, maka praktis kami telah menjadi orangtua. Dan
konsekuensi menjadi orangtua adalah mengantarkan anak keturunan kami
menjadi anak yang sesuai dengan fitrahnya, yakni beriman kepada Allah
Swt dengan menjadikan agama Islam sebagai pegangan hidupnya dan
Sunnah Nabi sebagai teladannya. Tak lupa pemenuhan kebutuhan yang
bersikap fisik pun harus semaksimal mungkin kami upayakan, salah
satunya adalah memberikan ASI eksklusif kepada si bayi selama 2 tahun
penuh atau kalau memang tidak bisa paling minim 6 bulan.
Akhir-akhir
ini, jam tidur kami pun sedikit terkurangi karena fase tidur bayi
memang belum teratur. Terlebih jika bayi pipis, ek ek (BAB),
lapar, haus, maka yang pertama terdengar adalah tangisannya yang
memelas. Jadi, sengantuk apa pun kami, maka harus bangun untuk
memenuhi hajatnya. Saat itu saya berpikir, mungkin inilah diri saya
puluhan tahun lalu ketika masih bayi; hanya merengek-rengek untuk
memenuhi hajatnya, maka sungguh tak pantas jika hari ini saya dan
mungkin Anda melakukan hal yang tidak disukai orangtua. Sungguh,
betapa mulia jasa orangtua kita. Tak akan sanggup kita membayar jerih
payahnya, maka berbaktilah selagi kesempatan itu masih ada.
Suatu
pagi, ketika selesai memandikan anak kami, sayup-sayup terdengar dari
rumah tetangga. "Bu, agama ibu apa sih?" Mendengar
pertanyaan itu, saya berpikir mungkin si anak mempunyai PR untuk
menanyakan agama orangtuanya. Ibu si anak tersebut menyahut
ketus, "Islam." Tak berapa lama terdengar sahutan yang
terdengar cukup menyayat hati dari si anak, "Kalo Islam, kok
nggak pernah shalat." Pernyataan polos yang saya rasa amat
menyudutkan sang ibu itu terdengar amat tak mengenakan hati bagi siapa pun
yang mendengarnya. Bagaimana tidak, seorang ibu/orangtua yang seharusnya
menjadi contoh terbaik bagi anak-anaknya—terlebih dalam masalah
agama—malah tersudutkan oleh pernyataan anaknya sendiri. Saya tak tahu
harus bersikap seperti apa andai sayalah yang mendapat tohokan itu.
Ternyata benar bahwa anak sangat memerhatikan apa yang kita lakukan
sehari-hari, sekecil apa pun.
Berangkat
dari cerita di atas, sudah selayaknya kita benahi diri kita terlebih bagi yang
sudah memiliki anak. Jangan sampai kejadian di atas juga menimpa kita. Sungguh, adalah musibah jika kita menemui situasi di atas. Oleh karena itu, jangan sampai kita menyuruh anak shalat, tapi
kita tak pernah meneladankannya. Kita menyuruh anak berkata jujur,
tapi aktivitas bohong-membohongi selalu akrab di kehidupan kita. Kita
menyuruh anak menjadi anak yang shalih/shalihah, tapi kita acuh tak
acuh dengan orangtua kita. Tak ada kata terlambat, selama kita
mempunyai niat dan tekad yang kuat. Fa idzaa 'azamta fatawakkal
'alallaah. []
Gambar: gurugurukehidupan.files.wordpress.com
Gambar: gurugurukehidupan.files.wordpress.com
0 Komentar:
Posting Komentar